Gempar negeri akibat perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membuat banyak pihak prihatin. Kondisi ini seakan mengulang istilah “Cicak vs Buaya” yang pernah dilontarkan Komjen Pol (Purn) Susno Duaji saat ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, medio 2012 silam.
Ketika itu, Susno menyebut KPK sebagai “cicak” yang hanya akan jadi makanan ikan arwana di akuarium yang ada di ruang kerjanya, hendak melawan Polri yang disebutnya sebagai “buaya”. Ia mengistilahkan Polri dengan sebutan “buaya” karena binatang predator itu bukanlah lawan yang seimbang bagi KPK yang dianggapnya cuma seekor “cicak”.
Faktanya, Susno Duaji yang ketika itu menyebut dan menganggap diri sebagai “buaya” pun masuk bui, setelah sang “cicak” mampu membuktikan kasus korupsi dan membongkar rekening gendut sang jenderal.
Akibat itu, Polri pun menarik semua penyidik terbaik yang ditugaskan ke KPK untuk pulang kandang dan kembali ke kesatuan Polri, setelah masa penugasan mereka berakhir. Sayangnya, banyak penyidik terbaik yang bertugas di KPK memilih “pensiun” berkarier di Polri dan bertahan di KPK untuk membongkar kasus-kasus korupsi lainnya di tubuh Polri.
Kalau ada anggapan Komisioner KPK hebat-hebat, mungkin iya. Namun sesungguhnya, yang jauh lebih hebat adalah para penyidik Polri yang berada dan bertugas di KPK. Mereka berani membongkar borok kesatuan dan kelakuan buruk para perwira tingginya.
Setidaknya, mereka adalah para idealis yang ingin menyaksikan institusi Polri ke depan, menjadi lebih baik, bebas dari praktik gratifikasi. Lebih-lebih bebas dari kebiasaan upeti junior ke senior, ataupun upeti bawahan ke pimpinan. Belum lagi promosi jabatan yang menjadi sebuah transaksi.
Peliknya perseteruan KPK dan Polri seharusnya juga mengharuskan Presiden RI Joko Widodo untuk bersikap tegas. Tidak mengambang. Namun nyatanya, pernyataan presiden terkesan sangat normatif dan sekadar berpidato sebagai presiden dan meminta para pihak yang terlibat perseteruan untuk “perang terbuka” (baca: bertindak transparan, Red). Sama-sama membuka fakta dan data yang dipunyai agar kasusnya terang benderang.
Mungkinkah pula presiden tetap ingin mempertahankan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri sebagai balas jasa atas perjuangan dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 lalu? Ataukah mungkin pula karena faktor KK(Nepotisme) dan unsur kedekatan sesama orang Solo? Atau kabar liar yang beredar di masyarakat, Pak Joko Widodo tidak kuasa menolak “titipan” ketua umum partai pengusungnya?
Bagaimanapun, sebagai masyarakat, kita tentu sama-sama ingin KPK dan Polri menjadi institusi penegakan hukum antikorupsi yang benar-benar kuat, hebat, terhormat, dan bermartabat. Terlepas dari sisi personal dan oknum yang berada di dalamnya adalah juga manusia yang sama-sama (tentu) memiliki sisi kesalahan dan kekhilafan, serta ambisi pribadi?
Meski begitu, kita menantikan akhir damai dari sebuah perseteruan yang tidak lagi hanya sekadar persoalan hukum, tetapi juga sudah mengarah ke politik dan politisasi KPK dan Polri. Kita pula berharap presiden benar-benar menjadi penentu wibawa negeri.
Sumber :
http://kaltengpos.web.id/berita/detail/16079/menanti-akhir-seteru.html