Senin, 09 Februari 2015

Akhir Perseteruan KPK dan Polri



Gempar negeri akibat perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membuat banyak pihak prihatin. Kondisi ini seakan mengulang istilah “Cicak vs Buaya” yang pernah dilontarkan Komjen Pol (Purn) Susno Duaji saat ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, medio 2012 silam.

Ketika itu, Susno menyebut KPK sebagai “cicak” yang hanya akan jadi makanan ikan arwana di akuarium yang ada di ruang kerjanya, hendak melawan Polri yang disebutnya sebagai “buaya”. Ia mengistilahkan Polri dengan sebutan “buaya” karena binatang predator itu bukanlah lawan yang seimbang bagi KPK yang dianggapnya cuma seekor “cicak”.

Faktanya, Susno Duaji yang ketika itu menyebut dan menganggap diri sebagai “buaya” pun masuk bui, setelah sang “cicak” mampu membuktikan kasus korupsi dan membongkar rekening gendut sang jenderal.

Akibat itu, Polri pun menarik semua penyidik terbaik yang ditugaskan ke KPK untuk pulang kandang dan kembali ke kesatuan Polri, setelah masa penugasan mereka berakhir. Sayangnya, banyak penyidik terbaik yang bertugas di KPK memilih “pensiun” berkarier di Polri dan bertahan di KPK untuk membongkar kasus-kasus korupsi lainnya di tubuh Polri.

Kalau ada anggapan Komisioner KPK hebat-hebat, mungkin iya. Namun sesungguhnya, yang jauh lebih hebat adalah para penyidik Polri yang berada dan bertugas di KPK. Mereka berani membongkar borok kesatuan dan kelakuan buruk para perwira tingginya.

Setidaknya, mereka adalah para idealis yang ingin menyaksikan institusi Polri ke depan, menjadi lebih baik, bebas dari praktik gratifikasi. Lebih-lebih bebas dari kebiasaan upeti junior ke senior, ataupun upeti bawahan ke pimpinan. Belum lagi promosi jabatan yang menjadi sebuah transaksi.

Peliknya perseteruan KPK dan Polri seharusnya juga mengharuskan Presiden RI Joko Widodo untuk bersikap tegas. Tidak mengambang. Namun nyatanya, pernyataan presiden terkesan sangat normatif dan sekadar berpidato sebagai presiden dan meminta para pihak yang terlibat perseteruan untuk “perang terbuka” (baca: bertindak transparan, Red). Sama-sama membuka fakta dan data yang dipunyai agar kasusnya terang benderang.

Mungkinkah pula presiden tetap ingin mempertahankan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri sebagai balas jasa atas perjuangan dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 lalu? Ataukah mungkin pula karena faktor KK(Nepotisme) dan unsur kedekatan sesama orang Solo? Atau kabar liar yang beredar di masyarakat, Pak Joko Widodo tidak kuasa menolak “titipan” ketua umum partai pengusungnya?

Bagaimanapun, sebagai masyarakat, kita tentu sama-sama ingin KPK dan Polri menjadi institusi penegakan hukum antikorupsi yang benar-benar kuat, hebat, terhormat, dan bermartabat. Terlepas dari sisi personal dan oknum yang berada di dalamnya adalah juga manusia yang sama-sama (tentu) memiliki sisi kesalahan dan kekhilafan, serta ambisi pribadi?

Meski begitu, kita menantikan akhir damai dari sebuah perseteruan yang tidak lagi hanya sekadar persoalan hukum, tetapi juga sudah mengarah ke politik dan politisasi KPK dan Polri. Kita pula berharap presiden benar-benar menjadi penentu wibawa negeri.

Sumber :
http://kaltengpos.web.id/berita/detail/16079/menanti-akhir-seteru.html

Kamis, 05 Februari 2015

Teknologi Pencarian Black Box

Sonar adalah suatu metode memanfaatkan perambatan suara di dalam air untuk mengetahui keberadaan obyek di bawah permukaan air. Secara garis besar sistem kerja sebuah peralatan sonar adalah mengeluarkan sumber bunyi yang akan menyebar di dalam air.
Bunyi ini akan dipantulkan obyek di dalam air dan diterima kembali sistem sonar tersebut. Berdasarkan penghitungan kecepatan perambatan suara di dalam air maka letak obyek dalam air dapat diketahui jaraknya dari sumber suara.
Pada peralatan sonar yang lebih canggih tak hanya keberadaan obyek, bentuk fisik atau bahan pembentuk obyek juga dapat diketahui.
Teknologi sonar kini dipakai untuk mendeteksi keberadaan kotak hitam dan puing pesawat AirAsia QZ8501. Gelombang suara yang dipantulkan sonar akan menyebar di dalam air dan mencari keberadaan obyek yaitu pesawat AirAsia QZ 8501.
Teknologi sonar sebelumnya juga digunakan mencari keberadaan pesawat Malaysia MH 370 yang hilang pada Maret 2014 lalu. Selama ini sonar telah dipergunakan untuk mendeteksi kapal selam, ranjau di kedalaman air, penangkapan ikan secara komersil, serta keselamatan dan komunikasi di bawah laut.
Sumber :

Pro & Kontra Tiket Pesawat Murah

Apakah ada jaminan tiket mahal, penumpang pasti selamat? Terbukti Garuda, Singapore Airlines, Air France, Japanese Airlines pernah mengalami kecelakaan. Nasib penumpang tidak tergantung pada tiket mahal atau murah. Jika tiket murah, apakah faktor keselamatan menjadi murahan juga?
Bagaimana dong logikanya, murah kok minta selamat. Apalagi sekarang dolar sudah mahal. Itulah berbagai pernyataan di media sosial yang menunjukkan pro-kontra atas kebijakan Kementerian Perhubungan berupa perubahan penetapan batas bawah harga tiket penerbangan.
Muhammad Alwi, direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, menyatakan kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 91 Tahun 2014 itu membuat tak ada lagi harga tiket di bawah Rp 500.000. Kebijakan baru Menteri Perhubungan Ignasius Jonan itu jelas mengagetkan publik, yang selama ini menikmati penerbangan dengan tarif di bawah Rp 500.000. Bahkan banyak juga yang di bawah Rp 400.000. Dengan tiket berharga terjangkau itu, bandar udara (bandara) besar di Tanah Air menjadi hiruk-pikuk oleh keramaian calon penumpang. Atau, disesaki orang-orang yang baru tiba dengan penerbangan bertarif murah.
Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Kota Tangerang, juga masuk daftar 10 bandara tersibuk di dunia. Itu bisa terjadi karena masyarakat yang sebelumnya tak berpikir bisa naik pesawat, kini bisa mewujudkan keinginan mereka.
Gejala itu dipotret sebuah maskapai penerbangan kategori low cost carrier (LCC), yang mengusung semboyan ”Everyone Can Fly”. Karena itu, banyak orang kecewa atas kemunculan kebijakan yang memberatkan mereka. Kebijakan itu muncul setelah terjadi kecelakan pesawat Air Asia QZ8501, baru-baru ini. Pihak yang kecewa menilai, kebijakan itu mengambinghitamkan tiket murah setelah terjadi kecelakaan terhadap Air Asia yang masuk kategori LCC.
Kebijakan baru itu juga seakan-akan menyeret publik ke adagium lama bahwa sesuatu yang murah identik dengan asalasalan, yang berujung pada ketidakselamatan. Pada berbagai kesempatan Jonan menyatakan pada prinsipnya lewat kebijakan baru itu, pemerintah membantu ”ruang keuangan” yang cukup untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan, standar keselamatan dan pelayanan.
Adalah logis perawatan pesawat, termasuk harga suku cadang yang dipengaruhi oleh nilai dolar AS karena harus impor, menjadikan biaya komponen lebih mahal. Faktanya, kini banyak harga tiket penerbangan lebih murah dibandingkan dengan harga tiket kereta api kelas eksekutif. Jonan membandingkan harga tiket kereta api rute Jakarta- Surabaya dan Jakarta-Yogyakarta yang kini sama, bahkan lebih mahal ketimbang harga tiket pesawat.
Padahal, biaya perawatan pesawat lebih mahal dan risiko yang dihadapi lebih tinggi. Masih Untung Namun argumentasi Jonan tak sepenuhnya dapat diterima. Sebab, maskapai penerbangan LCC bertarif terjangkau atau murah pun masih untung. Pasar LCC di Indonesia pun tumbuh sangat pesat. Orang yang semula naik kereta api eksekutif pun mulai berpaling ke penerbangan LCC. Mereka mempertimbangkan kecepatan waktu tempuh dan keekonomisan kereta api bila berpegang pada prinsip waktu adalah uang. Faktor kekurangnyamanan hanya dalam waktu satu jam penerbangan bukan kendala bagi kebanyakan orang. Salah satu kritik datang dari Wakil Ketua Komisi V DPR Yudi Widiana.
Dia mengemukakan pemberian izin operasi maskapai penerbangan melayani rute dan menjual tiket dengan harga relatif murah, jelas menunjukkan maskapai bersangkutan telah memenuhi berbagai prosedur yang ditetapkan pemerintah. Tentu dalam pemberian izin itu pemerintah tidak akan mengabaikan faktor keselamatan.
Bila dalam proses sebuah maskapai diketahui tak bisa memenuhi syarat keselamatan, tidak mungkin diberi izin. Jadi selama ini LCC yang telah membantu rakyat memenuhi kebutuhan transportasi yang cepat dan harga terjangkau tidak masalah lagi dalam hal keselamatan. Maka membenturkan tarif murah dan keselamatan bukan langkah yang tepat, kecuali terbukti pemenuhan syarat faktor keselamatan maskapai LCC selama ini bisa dijualbelikan oleh oknum aparat pemerintah yang berwenang di bidang itu. Dari berbagai argumentasi itu, kita patut menduga dan curiga berkait dengan banyak hal. Pertama, benarkah selama ini tarif penerbangan murah tidak bisa mengatasi biaya keselamatan?
Bila itu terjadi, berarti selama ini izin yang diberikan berdasar proses abal-abal, yang mengabaikan faktor keselamatan. Kedua, benarkah kebijakan itu merupakan upaya pemerintah menyelamatkan transportasi darat dan laut yang berpotensi terdesak oleh bisnis LCC yang tumbuh sangat pesat?
Sehingga bahkan sampai mengundang pemain asing untuk berkiprah memberikan jasa layanan kepada rakyat Indonesia. Lalu, kecelakaan terhadap Air Asia digunakan sebagai pintu masuk untuk menyelamatkan transportasi darat dan laut. Kita tentu berharap segera memperoleh jawaban atas kondisi yang sebenarnya.
Sumber :

Teknologi Dibalik Black Box

Kotak hitam atau black box adalah sekumpulan perangkat yang digunakan dalam bidang transportasi - umumnya merujuk kepadaperekam data penerbangan (flight data recorder; FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder; CVR) dalam pesawat terbang.
Fungsi dari kotak hitam sendiri adalah untuk merekam pembicaraan antara pilot dan pemandu lalu lintas udara atau air traffic control (ATC) serta untuk mengetahui tekanan udara dan kondisi cuaca selama penerbangan. Walaupun dinamakan kotak hitam tetapi sesungguhnya kotak tersebut tidak berwarna hitam tetapi berwarna jingga (oranye). Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pencarian jika pesawat itu mengalami kecelakaan.
Penempatan kotak hitam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga mudah ditemukan. Umumnya terdapat dua unit kotak hitam yang diletakkan pada bagian depan pesawat dan bagian ekor pesawat, yang diyakini merupakan bagian yang utuh ditemukan.


Cara Kerja Black Box
Magnetic Tape bekerja layaknya Tape Recorder dan pada umumnya, CVR dengan Magnetic Tape merekam selama 30 menit, dengan putaran kontinyu (Continuous Loop) dengan siklus 30 menit. Setelah satu siklus, rekaman lama akan terhapus diganti dengan rekaman baru. Sedangkan CVR berbasis tek-nologi Solid State mampu merekam sampai 2 jam per siklus.
Saat ini, pembuat Black Box tidak lagi membuat jenis Magnetic Tape dan mulai beralih ke Solid State Technology yang diyakini lebih andal. Solid State menggunakan sekumpulan Microchips, sehingga tidak ada bagian-bagian yang bergerak. Dengan tidak adanya bagian yang bergerak membuat biaya perawatan menjadi murah dan juga akan mengurangi kemungkinan ada ba-gian yang pecah pada waktu terjadi kecela-kaan. Kemudian data-data dan FDR dan CVR disimpan pada Memory Boards yang terdapat pada Crash Survivability Memory Unit (CSMU). Memory Boards mempunyai ruang penyimpanan data digital yang cukup un-tuk mengakomodasi rekaman percakapan pada CVR hingga 2 jam dan perekaman data pener-bangan pada FDR selama 25 jam.
Untuk dapat direkam pada FDR, pesawat terbang dilengkapi berbagai macam sensor untuk mengukur besaran-besaran (parameter) data penerbangan seperti Acceleration, Airspeed, Attitude, Flap Settings, Outside Air Temperature, Cabin Temperature and Pressure, Engine Performance dan banyak lagi. FDR jenis Magnetic Tape Recorder dapat menyimpan sekitar 100 parameter, sedangkan jenis Solid State Recorder lebih dari 700 parameter. Semua data dari sensor-sensor tersebut dikirimkan ke Flight Data Acqusition Unit (FDAU) yang terletak pada Electronic Equipment Bay di bawah Cockpit dan kemudian direkam oleh Black Box, yang terletak pada bagian belakang (ekor) pesawat terbang. Alasan pemasangan Black Box di belakang pesawat terbang me-ngingat bagian tersebut seringkali lebih utuh kon-disinya pada saat terjadi kecelakaan dibandingkan bagian depan, sehingga akan lebih melindungi ke-utuhan Black Box.
Pada kecelakaan pesawat terbang, ada kalanya bagian yang tersisa adalah Black Box, itupun mungkin hanya bagian yang disebut Crash Survivability Me-mory Unit (CSMU), karena CSMU baik pada FDR maupun CVR memang dibuat untuk dapat bertahan (Built to Survive), oleh karenanya persyaratan dan pengujian bagian ini sangatlah ketat. Beberapa hal yang harus mampu ditahan oleh CSMU di antaranya Crash Impact yang harus mampu menahan ben-turan sampal 3.400 G (gaya tarik bumi), Static Crush mampu menahan beban seberat 5.000 lb (2.500 kg) selama 5 menit pada semua sumbunya. Fire Test mampu bertahan pada suhu 2.0000 F (1.1000C) selama satu jam, mampu bertahan di kedalaman laut, berbagai macam cairan, dan sebagainya. Di samping itu, Black Box juga dilengkapi dengan Under Water Locator Beacon, untuk dapat diketahui lokasinya apabila tenggelam di laut. Alat ini mampu mengeluarkan sinyal dan kedalaman 14.000 kaki (4.267m).
Untuk dapat dianalisis, data dan FDR dan CVR dibaca dengan mengguna-kan peralatan dan piranti lunak khusus. Di Amerika Serikat, hal ini dilakukan di laboratorium badan keselamatan transportasi nasional (National Transportation Safety Board/NTSB), yang memperoleh Read Out System dan Software dan pembuat Black Box. Proses ini dapat memakan waktu mingguan bahkan berbulan-bulan. Hasil analysis dan Black Box bukanlah satu-satunya sumber untuk dapat menyimpulkan penyebab suatu kece-lakaan. Para penyelidik di Indonesia yang dilaksa-nakan oleh Komite Nasional Keselamatan Trans-portasi (KNKT) harus menggabungkan dan mengsin-kronisasikannya dengan berbagai macam temuan lainnya untuk dapat menyimpulkan secara utuh dan komprehensif Badan Otoritas Penerbangan Amerika Serikat, Federal Aviation Administration (FAA) mewajibkan pesawat terbang komersial merekam sedikitnya 11 hingga 29 parameter, tergantung dari ukuran pesawat yang kemudian aturan ini diperbaharui pada tanggal 17 Juli 1997. Pesawat yang dibuat sesudah tanggal 19 Agustus 2002 diwajibkan untuk memiliki Black Box untuk merekam sedikitnya 88 parameter.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kotak_hitam
http://blogqyta.blogspot.com/2009/10/apa-itu-black-box-label-pengetahuan.html



Sejarah Android



Android, Inc. didirikan di Palo Alto, California, pada bulan Oktober 2003 oleh Andy Rubin (pendiriDanger), Rich Miner (pendiri Wildfire Communications, Inc.), Nick Sears (mantan VP T-Mobile), dan Chris White (kepala desain dan pengembangan antarmuka WebTV) untuk mengembangkan "perangkat seluler pintar yang lebih sadar akan lokasi dan preferensi penggunanya". Tujuan awal pengembangan Android adalah untuk mengembangkan sebuah sistem operasi canggih yang diperuntukkan bagi kamera digital, namun kemudian disadari bahwa pasar untuk perangkat tersebut tidak cukup besar, dan pengembangan Android lalu dialihkan bagi pasar telepon pintar untuk menyaingi Symbian dan Windows Mobile (iPhone Apple belum dirilis pada saat itu). Meskipun para pengembang Android adalah pakar-pakar teknologi yang berpengalaman, Android Inc. dioperasikan secara diam-diam, hanya diungkapkan bahwa para pengembang sedang menciptakan sebuah perangkat lunak yang diperuntukkan bagi telepon seluler. Masih pada tahun yang sama, Rubin kehabisan uang.Steve Perlman, seorang teman dekat Rubin, meminjaminya $10.000 tunai dan menolak tawaran saham di perusahaan.

Google mengakuisisi Android Inc. pada tanggal 17 Agustus 2005, menjadikannya sebagai anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Google. Pendiri Android Inc. seperti Rubin, Miner dan White tetap bekerja di perusahaan setelah diakuisisi oleh Google. Setelah itu, tidak banyak yang diketahui tentang perkembangan Android Inc., namun banyak anggapan yang menyatakan bahwa Google berencana untuk memasuki pasar telepon seluler dengan tindakannya ini. Di Google, tim yang dipimpin oleh Rubin mulai mengembangkan platform perangkat seluler dengan menggunakan kernel Linux. Google memasarkan platform tersebut kepada produsen perangkat seluler danoperator nirkabel, dengan janji bahwa mereka menyediakan sistem yang fleksibel dan bisa diperbarui. Google telah memilih beberapa mitra perusahaan perangkat lunak dan perangkat keras, serta mengisyaratkan kepada operator seluler bahwa kerjasama ini terbuka bagi siapapun yang ingin berpartisipasi.
HTC Dream, ponsel Android pertama.

Spekulasi tentang niat Google untuk memasuki pasar komunikasi seluler terus berkembang hingga bulan Desember 2006. BBCdan Wall Street Journal melaporkan bahwa Google sedang bekerja keras untuk menyertakan aplikasi dan mesin pencarinya di perangkat seluler. Berbagai media cetak dan media daring mengabarkan bahwa Google sedang mengembangkan perangkat seluler dengan merek Google. Beberapa di antaranya berspekulasi bahwa Google telah menentukan spesifikasi teknisnya, termasuk produsen telepon seluler dan operator jaringan. Pada bulan Desember 2007, InformationWeek melaporkan bahwa Google telah mengajukan beberapa aplikasi paten di bidang telepon seluler.

Pada tanggal 5 November 2007, Open Handset Alliance (OHA) didirikan. OHA adalah konsorsium dari perusahaan-perusahaan teknologi seperti Google, produsen perangkat seluler seperti HTC, Sony dan Samsung, operator nirkabel seperti Sprint Nextel dan T-Mobile, serta produsen chipset seperti Qualcomm dan Texas Instruments. OHA sendiri bertujuan untuk mengembangkan standar terbuka bagi perangkat seluler. Saat itu, Android diresmikan sebagai produk pertamanya; sebuah platform perangkat seluler yang menggunakan kernel Linux versi 2.6. Telepon seluler komersial pertama yang menggunakan sistem operasi Android adalah HTC Dream, yang diluncurkan pada 22 Oktober 2008.

Pada tahun 2010, Google merilis seri Nexus; perangkat telepon pintar dan tablet dengan sistem operasi Android yang diproduksi oleh mitra produsen telepon seluler seperti HTC, LG, dan Samsung. HTC bekerjasama dengan Google dalam merilis produk telepon pintar Nexus pertama, yakni Nexus One. Seri ini telah diperbarui dengan perangkat yang lebih baru, misalnya telepon pintar Nexus 4 dan tablet Nexus 10 yang diproduksi oleh LG dan Samsung. Pada 15 Oktober 2014, Google mengumumkan Nexus 6 dan Nexus 9 yang diproduksi oleh Motorola dan HTC. Pada 13 Maret 2013, Larry Page mengumumkan dalam postingan blognya bahwa Andy Rubin telah pindah dari divisi Android untuk mengerjakan proyek-proyek baru di Google. Ia digantikan oleh Sundar Pichai, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala divisi Google Chrome, yang mengembangkan Chrome OS.

Sejak tahun 2008, Android secara bertahap telah melakukan sejumlah pembaruan untuk meningkatkan kinerja sistem operasi, menambahkan fitur baru, dan memperbaiki bugyang terdapat pada versi sebelumnya. Setiap versi utama yang dirilis dinamakan secara alfabetis berdasarkan nama-nama makanan pencuci mulut atau cemilan bergula; misalnya, versi 1.5 bernama Cupcake, yang kemudian diikuti oleh versi 1.6 Donut. Versi terbaru adalah 5.0 Lollipop, yang dirilis pada 15 Oktober 2014.

Sumber : 
http://id.wikipedia.org/wiki/Android_(sistem_operasi)